Senin, 21 Desember 2009

Sarana Berpikir Ilmiah

PENDAHULUAN

Berpikir merupakan suatu aktivitas pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah pada satu tujuan. Manusia berpikir untuk menemukan suatu pemahaman atau pengertian, pembentukan pendapat, dan kesimpulan atau keputusan dari suatu yang dikehendaki. Menurut Suriasumantri (2006:1), manusia-Homo Sapiens, makhluk yang berpikir. Setiap saat dalam hidupnya, sejak ia lahir sampai meninggal, dia tak pernah berhenti berpikir. Hampir tak ada masalah yang menyangkut dengan kehidupan yang terlepas dari jangkauan pikirannya, dari soal yang paling remeh sampai soal paling asasi.

Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Manusia mengembangkan pengetahuannya mengatasi kebutuhan kelangsungan hidup. Memikirkan hal-hal baru dan menjelajahinya karena hidup bukan hanya sekedar untuk kelangsungan hidup tetapi lebih dari itu. Manusia mengembangkan kebudayaan, memberi makna pada kehidupan “memanusiakan manusia”, yang hakikatnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi

Pengetahuan mampu dikembangkan oleh manusia disebabkan oleh dua hal (dalam http://permatayien.blogspot.com) :

1. Manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikir yang melatarbelakangi informasi tersebut

2. Manusia mempunyai kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu dengan cepat dan mantap, dimana secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut dengan penalaran.

Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik kesimpulan yang berupa pengetahuan. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir bukan perasaan. Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran memiliki ciri-ciri tertentu antara lain pertama, adanya suatu pola berpikir yang secara luas disebut logika. Berpikir menurut pola tertentu dengan konotasi yang bersifat jamak bukan plural dan kedua ialah bersifat analitik, yang mempergunakan logika ilmiah, jika dikaji lebih jauh merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Tanpa adanya pola pikir tersebut maka tidak akan ada kegiatan analisis, sebab analisis pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.

Penalaran ilmiah merupakan sesuatu yang logis dan analitis yang penting kaitannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Untuk dapat melakukan kegiatan ilmiah secara baik perlu ditunjang dengan sarana berpikir ilmiah. Tersedianya sarana tersebut memungkinkan penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan berpikir ilmiah ini merupakan suatu hal yang bersifat imperatif bagi seorang ilmuwan. Tanpa menguasai hal ini, maka kegiatan ilmiah yang baik tidak dapat dilakukan.

PEMBAHASAN

Sarana ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya diperlukan sarana yang tertentu pula. Oleh sebab itu, sebelum membahas sarana-sarana berpikir ilmiah seyogyanya kita telah menguasai langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah tersebut. Dengan jalan ini kita sampai pada hakikat sarana yang sebenarnya karena sarana merupakan alat yang membantu kita dalam mencapai tujuan tertentu atau dengan kata lain, sarana ilmiah mempunyai fungsi-fungsi khas dalam kaitan kegiatan ilmiah secara menyeluruh

Dalam proses pendidikan, sarana berpikir ilmiah ini merupakan bidang studi tersendiri. Dalam hal ini kita harus memperhatikan 2 hal yaitu :

1. Sarana ilmiah bukan merupakan kumpulan ilmu, dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Seperti diketahui salah satu diantara cirri-ciri ilmu umpamanya adalah penggunaan induksi dan deduksi dalam mendapatkan pengetahuan. Sarana berpikir ilmiah tidak menggunakan cara ini dalam mendapatkan pengetahuan. Secara lebih jelas dapat dikatakan bahwa ilmu mempunyai metode tersendiri dalam mendapatkan pengetahuannya yang berbeda dengan sarana berpikir ilmiah

2. Tujuan mempelajari sarana berpikir ilmiah adalah memungkinkan kita untuk menelaah ilmu secara baik. Sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk dapat memecahkan masalah kita sehari-hari. Dalam hal ini maka sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang ilmu untuk mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan metode ilmiah. (Suriasumantri, 2007:167)

Hal tersebut menjelaskan mengapa sarana berpikir ilmiah mempunyai metode sendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam menghasilkan pengetahuannya, karena sarana berpikir ilmiah berfungsi membantu proses metode ilmiah, bukan merupakan ilmu itu sendiri. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana berupa bahasa, logika, matematika dan statistik seperti yang terlihat pada gambar berikut :

Berpikir Ilmiah

Bahasa

Logika

Matematika

Logika

Statistik

Mengembangkan Pengetahuan


Berdasarkan

Metode-metode

Ilmiah

Gambar 1 :

Sarana Berpikir Ilmiah


A. BAHASA

Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah, dimana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain, baik pikiran yang berlandaskan logika induktif maupun deduktif. Menggunakan bahasa yang baik dalam berpikir belum tentu mendapatkan kesimpulan yang benar apalagi dengan bahasa yang tidak baik dan tidak benar.

Bahasa merupakan sarana komunikasi antar manusia, tanpa bahasa tiada komunikasi. Tanpa komunikasi apakah manusia dapat bersosialisasi dan apakah manusia layak disebut sebagai makhluk sosial ?. Dengan kemampuan bahasa akan terbentang luas cakrawala berpikir seseorang dan tiada batas baginya, sesuai dengan pernyataan Wittgenstein dalam Suriasumantri (2007), “Batas bahasaku adalah batas duniaku.”

Keunikan manusia sebenarnya bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuan berbahasa. Tanpa mempunyai kemampuan berbahasa ini maka kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur tidak mungkin dapat dilakukan. Manusia dapat berpikir dengan baik karena dia mempunyai bahasa. Tanpa bahasa maka manusia tidak akan dapat berpikir secara rumit dan abstrak seperti apa yang dilakukan dalam kegiatan ilmiah. Demikian juga tanpa bahasa maka kita tidak dapat mengkomunikasikan pengetahuan kita kepada orang lain. Seperti yang dikemukakan Poespoprodjo (2006) bahwa antara pemikiran dan bahasa memiliki sutu hubungan yang timbal balik. Berpikir dengan jelas dan tepat menuntut pemakaian kata-kata yang tepat, sebaliknya pemakaian kata-kata yang tepat sangan menolong kita untuk berpikir lurus. Bahasa adalah laksana alat pemikir yang kalu sungguh-sungguh kita kuasai dan kita pergunakan dengan tepat, sangat membantu untuk memperoleh ‘kecakapan berpikir dengan lurus’.

Ernest Cassirer dalam Suriasumantri (2007) menyebutkan manusia sebagai Animal Symbolic yaitu makhluk yang menggunakan simbol, yang secara generik mempunyai cakupan yang lebih luas dari Homo Sapiens yakni makhluk berpikir sebab dalam kegiatan berpikir manusia juga menggunakan simbol. Bolch dan Trager (dalam http://permatayien.blogspot.com) menyatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem yang berstruktur dari simbol-simbol bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota sesuatu kelompok sosial sebagai alat bergaul satu sama lain.

Bahasa ilmiah yang merupakan sarana komunikasi ilmiah yang ditujukan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan hendaknya memiliki syarat-syarat sebagai berikut :

1. Bebas dari unsur emotif

2. Harus bersifat reproduktif, artinya bila si pengirim komunikasi menyampaikan informasi “X”, maka si penerima informasi harus menerima informasi “X” pula

3. Objektif

4. Eksplisit atau berbahasa dengan jelas, makna yang terkandung dalam kata-kata yang dipergunakan diungkapkan secara tersurat (eksplisit) untuk mencegah pemberian makna yang lain. (dalam http://js.unikom.ac.id/rb/bab1.html).

Sebagai sarana komunikasi ilmiah bahasa memiliki beberapa kekurangan. Kekurangan ini pada hakikatnya terletak pada peranan bahasa itu sendiri yang bersifat multifungsi sebagaimana yang dikemukakan Kneller (dalam Suriasumantri, 2007) mengenai tiga fungsi bahasa yaitu simbolik, emotif dan afektif. Kekurangan yang kedua ialah pada arti yang tidak jelas dan eksak yang dikandung oleh kata-kata yang membangun bahasa. Ketiga, sifat majemuk (pluralistik) dari bahasa yaitu sebuah kata terkadang mempunyai lebih dari satu arti yang sering menimbulkan apa yang dinamakan kekacauan semantik. Keempat, bahasa sering bersifat berputar-putar (sirkular) dalam mempergunakan kata-kata terutama dalam memberikan definisi. Dan kelemahan yang lainnya adalah konotasi yang bersifat emosional.

B. LOGIKA

Logika berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata Logos yang artinya kata atau pikiran yang benar. Dalam kamus filsafat, logica : Inggris- Logic, Latin- Logica, Yunani-Logike atau Logikos berarti apa yang termasuk ucapan yang dapat dimengerti atau akal budi yang berfungsi baik, teratur, sistematis dan dapat dimengerti. Dalam arti luas logika adalah sebuah metode dan prinsip-prinsip yang dapat memisahkan secara tegas antara penalaran yang benar dengan penalaran yang salah. (http://www.sanaky.com)

Logika sebagai cabang filsafat (cabang filsafat tentang berfikir). Logika membicarakan tentang aturan-aturan berpikir agar dengan aturan-aturan tersebut dapat mengambil kesimpulan yang benar. Dengan mengetahui cara atau aturan tersebut dapat menghindarkan diri dari kesalahan dalam pengambilan keputusan. Menurut Poespoprodjo (2006), logika adalah ilmu dan kecakapan menalah, berpikir dengan tepat (the science and art of correct thinking). Louis O, Kattsoff (dalam www.sanaky.com) pun mengemukakan logika membicarakan teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu.

Logika bukanlah ilmu yang baru muncul, perumusan kaidah-kaidah logika untuk berpikir benar dipelopori oleh Aristoteles yang hidup pada tahun 348-322 SM, dengan bukunya Organon yang berarti instrument (alat), alat untuk berpikir benar. Aristoteles dianggap sebagai pelopor pembukuan pengetahuan logika. Tidak berarti sebelum ada Aristoteles, belum ada kaidah-kaidah berpikir yang benar (logika). Sebenarnya di Negara-negara Timur Kuno (Mesir, Babilon, India dan Tiongkok) diakui telah terdapat semacam kaidah-kaidah berpikir yang dianggap benar, hanya saja belum teratur sistematikanya seperti rumusan logika Aristoteles.

Sejak manusia ada sampai sekarang selalu menggunakan akal pikirannya dalam melakukan setiap kegiatan, baik kegiatan berpikir alamiah (naturalis) maupun kegiatan berpikir yang sifatnya kompleks. Tetapi dalam melakukan kegiatan berpikir yang benar diperlukan kaidah-kaidah tertentu yaitu berpikir yang tepat, akurat, rasional, objektif dan kritis atau proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Proses berpikir semacam ini adalah cara berpikir atau penalaran yang terdapat dalam kaidah-kaidah logika. Poespoprodjo (2006) mengemukakan suatu jalan pikiran yang tepat dan jitu, yang sesuai dengan patokan-patokan dalam logika disebut “logis”.

Agar pengetahuan yang dihasilkan dari proses berpikir mempunyai dasar kebenaran, maka proses berpikir dilakukan dengan cara tertentu. Cara berpikir logis dibagi menjadi 2 bagian yaitu :

1. Logika Induktif yaitu proses pemikiran didalam akal kita dari pengetahuan tentang kejadian atau peristiwa-peristiwa yang lebih konkret dan khusus untuk menyimpulkan pengetahuan yang lebih umum. Contoh berpikir induktif, simpulan yang diharapkan berlaku umum untuk suatu kasus, jenis, dan peristiwa, atau yang diharapkan adalah agar kasus-kasus yang bersifat khusus dapat dimasukkan ke dalam wilayah umum, yang menjadi simpulan. Misalnya :

a. P – penduduk desa A = adalah pegawai,

b. Q – penduduk desa A = adalah pegawai,

c. R – penduduk desa A = adalah pegawai,

d. S – penduduk desa A = adalah pegawai,

e. Y – penduduk desa A = adalah pegawai,

f. Z – penduduk desa A = adalah pegawai.

Kesimpulan – jadi semua penduduk [ P sampai Z ] yang mendiami desa A adalah pegawai.

Menurut Francis Bacon (dalam www.sanaky.com) untuk menarik kesimpulan yang berlaku umum, hendaknya bertolak dari hasil observasi untuk menentukan ciri-ciri gejala yang didapatinya. Ada tiga jenis pencatatan ciri sebagai berikut :

a) Pencatatan ciri positif, pencatatan terhadap peristiwa yang kondisinya dapat dipastikan menimbulkan gejala,

b) Pencatatan ciri negatif, pencatatan terhadap peristitwa yang kondisinya tidak memunculkan gejala, dan

c) Pencatatan variasi gejala, pencatatan mengenai ada atau tidak adanya perubahan gejala pada kondisi yang berubah-ubah atau diubah-ubah. Kesimpulan yang dapat diambil sesuai dengan ciri-ciri, sifat-sifat atau unsur-unsur yang harus ada sebagai gejala yang berlaku umum

2. Logika Deduktif yaitu proses pemikiran di dalam akar kita dari pengetahuan yang lebih umum untuk menyimpulkan pengetahuan yang lebih khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola pikir syllogisme. Syllogisme adalah proses logis yang terdiri dari tiga bagian. Dua bagian pertama merupakan premis-premis atau pangkal tolak penalaran (deduktif) syllogisme yang terdiri dari premis mayor dan premis minor. Sedangkan bagian ketiga merupakan kesimpulan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut. Contoh karakteristik berpikir syllogisme :

a. Semua makhluk hidup membutuhkan air

b. Tumbuhan adalah makhluk hidup

c. Tumbuhan membutuhkan air

Kesimpulan bahwa tumbuhan membutuhkan air merupakan kesimpulan yang sah menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya. Sedangkan pertanyaan apakah kesimpulan ini benar, maka hal ini harus dikembalikan kebenarannya pada premis yang mendahuluinya. Apabila kedua premis yang mendukungnya benar, maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan tersebut benar. Tetapi dapat saja kesimpulan tersebut salah, walaupun kedua premisnya benar, sebab cara penarikan kesimpulannya salah. Selanjutnya Suriasumantri (2006), mengatakan ketepatan penarikan kesimpulan tersebut tergantung pada tiga hal yaitu :

1) Kebenaran premis mayor,

2) Kebenaran premis minor, dan

3) Keabsahan pengambilan keputusan.

Oleh karena itu, apabila salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak memenuhi persaratan, maka kesimpulan yang diambil atau diputuskan akan salah.

C. MATEMATIKA

Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin disampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat Artifisial, artinya lambang tersebut baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Bila kita mempelajari kecepatan jalan kaki seorang anak maka objek “kecepatan jalan kaki seorang anak” dapat diberi lambang dengan X. Dalam hal ini X hanya mempunyai satu arti yaitu kecepatan jalan kaki seorang anak. Bila dihubungkan dengan objek lain umpamanya “jarak yang ditempuh seorang anak” dengan lambang Y. maka dapat dibuat lambing hubungan tersebut sebagai Z=Y/X, dimana Z melambangkan waktu berjalan kaki seorang anak. Pernyataan Z=Y/X kiranya jelas yaitu tidak mempunyai konotasi emosional dan hanya mengemukakan informasi mengenai hubungan X, Y dan Z. Hal tersebut membuktikan bahwa matematika mempunyai sifat yang jelas, spesifik dan informatif dengan tidak menimbulkan konotasi yang bersifat emosional.

Kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh bahasa verbal, dapat diatasi dengan matematika. Dengan bahasa verbal bila kita membandingkan dua objek yang berlainan umpamanya gajah dan semut maka hanya bisa mengatakan gajah lebih besar dari semut kalau ingin menelusuri lebih lanjut berapa besar gajah dibandingkan dengan semut maka kita mengalami kesukaran dalam mengemukakan hubungan tersebut. Bila ingin mengetahui secara eksak berapa besar gajah bila dibandingkan dengan semut, maka dengan bahasa verbal tidak dapat mengatakan apa-apa.

Matematika mengembangkan konsep pengukuran, lewat pengukuran dapat mengetahui dengan tepat berapa panjang. Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif, kita mengetahui bahwa sebatang logam bila dipanaskan akan memanjang, tetapi tidak bisa mengatakan berapa besar pertambahan panjang logamnya. Untuk itu matematika mengembangkan konsep pengukuran, lewat pengukuran, maka dapat mengetahui dengan tepat berapa panjang sebatang logam dan berapa pertambahannya bila dipanaskan. dengan mengetahui hal ini maka pernyataan ilmiah yang berupa pernyataan kualitatif seperti sebatang logam bisa dipanaskan akan memanjang: dapat diganti dengan pernyataan matematika yang lebih eksak umpamanya :

P1 = P0 (1 +ñ)

P1 panjang logam pada temperatur t. P0 merupakan panjang logam pada temperatur nol dan n merupakan koefesiansi pemuai logam tersebut. Dalam hal ini, dapat kita katakan bahwa matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Bahasa verbal hanya mampu mengatakan pernyataan yang bersifat kualitatif sedangkan sifat kuantitatif dari matematika merupakan daya prediktif dan konrol dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara tepat dan cermat.

Logika berpikir ilmiah yang pertama adalah logika matematika. Logika ini melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang disampaikan. Tanpa ada panafsiran atau pemaknaan terhadap lambang-lambang yang dimilki oleh lambang matematika, lambang dimaksud hanya akan berisi rumus-rumus mati. Matematika biasanya menggunakan bahasa numerik yang menafikan unsur emosi, kabur dan majemuk seperti dalam bahasa biasa. Melalui unsur ini, manusia dapat melakukan pengukuran secara kuantitatif yang tidak diperoleh dalam bahasa yang selalu memberi kemungkinan menggunakan perasaan yang bersifat kualitatif. Matematika menurut Suriasumantri ( 2006 ) adalah puncak kegemilangan intelektual manusia. Matematika selain menjadi ilmu pengetahuan tersendiri, juga ia merupakan bahasa, proses dan teori yang memberi kepada ilmu suatu bentuk dan kekuasaan. Perhitungan matematik menjadi dasar bagi ilmu teknik. Metode matematik memberi inspirasi kepada pemikiran di bidang sosial dan ilmu ekonomi. Selain itu, matematik juga memberi warna kepada kegiatan seni lukis, arsitektur dan musik. Jatuh bangunnya suatu negara saat ini, juga akan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya negara itu menguasai ilmu matematik. Matematika dengan demikian, menurut Suriasumantri telah menjadi satu kekuatan utama dalam membentuk konsepsi tentang alam, seta hakekat dan tujuan manusia dalam kehidupan. “Persoalannya kemudian, kenapa ilmu ini menjadi demikian signifikan dalam kehidupan manusia?”

Jawaban atas pertanyaan ini, menurut Suriasumantri adalah karena matematik memiliki ciri ( utama ) sebagai metode dalam penalaran (reasoning). Menalar secara induksi dan analogi membutuhkan pengamatan dan bahkan percobaan, untuk memperoleh fakta yang dapat dipakai sebagai dasar argumentasi. Tetapi pancaindra manusia sangat terbatas dan terkadang tidak teliti. Untuk menghindari kesalahan demikian, ilmuwan matematik menggunakan kerangka berfikir lain. Umpamanya dia mempunyai fakta bahwa x-3=7. Untuk mencari nilai x, ilmuwan matematik merumuskan pada : jika angka 3 ditambahkan kepada kedua ruas persamaan, maka dia akan memperoleh bahwa x=10. Matematika dengan demikian akan menghasilkan suatu kesimpulan teorema, karena ia menggunakan model deduksi yang menghasilkan kesimpulan yang dapat dipercaya dan bersifat mengikat.

Nama ilmu deduktif diperoleh karena penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi tidak didasari atas pengalaman seperti halnya yang terdapat didalam ilmu-ilmu empirik, melainkan didasarkan atas deduksi (penjabaran). Secara deduktif, matematika menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-premis tertentu walaupun pengetahuan yang ditemukan ini sebenarnya bukanlah konsekuensi dari pernyataan-pernyataan ilmiah yang kita telah temukan sebelumnya. Meskipun “tak pernah ada kejutan dalam logika” (Ludwig Wittgenstein), namun pengetahuan yang didapatkan secara deduktif sangat berguna dan memberikan kejutan yang sangat menyenangkan. Dari beberapa premis yang kita telah ketahui, kebenarannya dapat diketemukan pengetahuan-pengetahuan lainnya yang memperkaya perbendaharaan ilmiah kita.

D. STATISTIK

Secara etimologi, kata statistik berasal dari kata “status” (latin) yang punya persamaan arti dengan “state” (bahasa inggris) dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah Negara. Pada mulanya statistik diartikan sebagai kumpulan bahan keterangan (data), baik yang berwujud angka (data kuantitatif) maupun yang tidak berwujud (data kualitatif), yang mempunyai arti penting dan kegunaan yang besar bagi suatu Negara. Dalam perkembangannya arti kata statistik hanya dibatasi pada kumpulan bahan keterangan yang berwujud angka (data kuantitatif) saja.

Ilmu statistik adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari dan memperkembangkan secara ilmiah tahap-tahap yang ada dalam kegiatan statistik. Adapun metode dan prodesur yang perlu ditempuh atau dipergunakan dalam rangka :

a. Pengumpulan data angka

b. Penyusunan atau pengaturan data angka

c. Penyajian atau penggambaran atau pelukisan data angka

d. Penganalisaan terhadap data angka

e. Penarikan kesimpulan (conclusion)

f. Pembuatan perkiraan (estimation)

g. Penyusunan ramalan (prediction) secara ilmiah

Jadi statistika merupakan sekumpulan metode untuk membuat keputusan yang bijaksana dalam keadaan yang tidak menentu.

Statistika berakar dari teori peluang, Descartes, ketika mempelajari hukum di Universitas Poitiers antara tahun 1612 sampai 1616, juga bergaul dengan teman-teman yang suka berjudi. Sedangkan, pendeta Thomas Bayes pada tahun 1763 mengembangkan teori peluang subyektif berdasarkan kepercayaan seseorang akan terjadinya suatu kejadian. Teori ini berkembang menjadi cabang khusus dalam statistika sebagai pelengkap teori peluang yang bersifat subyektif. Peluang yang merupakan dasar dari teori statistika, merupakan konsep yang tidak dikenal dalam pemikiran Yunani Kuno, Romawi, bahkan Eropa pada abad pertengahan. Sedangkan teori mengenai kombinasi bilangan sudah terdapat dalam aljabar yang dikembangkan sarjana Muslim, namun bukan dalam lingkup teori peluang.

Semula statistika baru hanya digunakan untuk mengembarkan persoalan seperti; pencatatan banyaknya penduduk, penarikan pajak, dan mengenai penjelasannya. Tetapi, dewasa ini hampir semua bidang keilmuan menggunakan statistika, seperti; pendidikan, psikologi, pendidikaan bahasa, biologi, kimia, pertanian, kedekteran, hukum, politik, dan sebagainya sedangkan yang tidak menggunakan statistika hanya ilmu-ilmu yang menggunakan pendekatan spekulatif. Statika merupakan sekumpulan metode untuk membuat keputusan dalam bidang keilmuan yang melalui pengujian-pengujian yang berdasarkan kaidah-kaidah statistik. Bagi masyarakat awam kurang terbiasa dengan istilah statistika, sehingga statistik biasanya mengandung konotasi berhadapan dengan deretan angka-angka yang menyulitkan, tidak mengenakkan, dan bahkan merasa bingung untuk membedakan antara matematika dan statistik. Berkenaan dengan pernyataan di atas, memang statistik merupakan diskripsi dalam bentuk angka-angka dari aspek kuantitatif suatu masalah, suatu benda yang menampilkan fakta dalam bentuk ”hitungan” atau ”pengukuran”.

Statistik selain menampilkan fakta berupa angka-angka, statistika juga merupakan bidang keilmuan yang disebut statistika, seperti juga matematika yang disamping merupakan bidang keilmuan juga berarti lambang, formulasi, dan teorema. Bidang keilmuan statistik merupakan sekumpulan metode untuk memperoleh dan menganalisis data dalam mengambil suatu kesimpulan berdasarkan data tersebut. Statistika digunakan untuk menggambarkan suatu persoalan dalam suatu bidang keilmuan. Maka, dengan menggunakan prinsip statistika masalah keilmuan dapat diselesaikan, suatu ilmu dapat didefinisikan dengan sederhana melalui pengujian statistika dan semua pernyataan keilmuan dapat dinyatakan secara faktual. Dengan melakukan pengujian melalui prosedur pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis yang terkandung fakta-fakta emperis, maka hipotesis itu diterima keabsahan sebagai kebenaran, tetapi dapat juga sebaliknya.

Contoh yang dikemukakan Suriasumantri (2006), penarikan kesimpulan tidak menggunakan prinsip-prinsip statistik, yaitu Suatu hari seorang anak kecil disuruh ayahnya membeli sebungkus korek api dengan pesan agar tidak terkecoh mendapatkan korek api yang jelek. Tidak lama kemudian anak kecil itu datang kembali dengan wajah yang berseri-seri, menyerahkan kotak korek api yang kosong, dan berkata, ”Korek api ini benar-benar bagus, pak, semua batangnya telah saya coba dan ternyata menyala”. Tak seorangpun, saya kira, yang dapat menyalahkan kesahihan proses penarikan kesimpulan anak kecil itu. Apabila semua pengujian yang dilakukan dengan kesimpulan seperti ini, maka prinsip-prinsip satatistika terabaikan karena menurut Suriasumantri, ”konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu”. Untuk itu, suatu penelitian ilmiah, baik yang berupa survai maupun eksperimen, dilakukan dengan lebih cermat dan teliti mempergunakan teknik-teknik statistika yang diperkembangkan sesuai dengan kebutuhan.

Dengan statistika kita dapat melakukan pengujian dalam bidang keilmuan sehingga banyak masalah dan pernyataan keilmuan dapat diselesaikan secara faktual. Pengujian statistika adalah konsekuensi pengujian secara emperis. Karena pengujian statistika adalah suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis. Artinya, jika hipotesis terdukung oleh fakta-fakta emperis, maka hipotesis itu diterima sebagai kebenaran. Sebaliknya, jika bertentangan hipotesis itu ditolak. Maka, pengujian merupakan suatu proses yang diarahkan untuk mencapai simpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Dengan demikian berarti bahwa penarikan simpulan itu adalah berdasarkan logika induktif.

Pengujian statistik mampu memberikan secara kuantitatif tingkat kesulitan dari kesimpulan yang ditarik tersebut, pada pokoknya didasarkan pada asas yang sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil makin tinggi pula tingkat kesulitan kesimpulan tersebut. Sebaliknya, makin sedikit contoh yang diambil maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya. Karakteristik ini memungkinkan kita untuk dapat memilih dengan seksama tingkat ketelitian yang dibutuhkan sesuai dengan hakikat permasalahan yang dihadapi. Selain itu, statistika juga memberikan kesempatan kepada kita untuk mengetahui apakah suatu hubungan kesulitan antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau memang benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat emperis.

Suriasumantri (2006) juga mengatakan bahwa pengujian statistik mengharuskan kita untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Umpamanya jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di sebuah tempat, maka nilai tinggi rata-rata yang dimaksud merupakan sebuah kesimpulan umum yang ditarik dalam kasus-kasus anak umur 10 tahun di tempat itu. Dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif.

Logika induktif, merupakan sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi. Logika ini sering disebut dengan logika material, yaitu berusaha menemukan prinsip penalaran yang bergantung kesesuaian dengan kenyataan. Oleh karena itu kesimpulan hanyalah kebolehjadian, dalam arti selama kesimpulan itu tidak ada bukti yang menyangkalnya maka kesimpulan itu benar.

Logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik suatu kesimpulan dan kesimpulannya mungkin benar mungkin juga salah. Misalnya, jika selama bulan November dalam beberapa tahun yang lalu hujan selalu turun, maka tidak dapat dipastikan bahwa selama bulan November tahun ini juga akan turun hujan. Kesimpulan yang dapat ditarik dalam hal ini hanyalah mengenai tingkat peluang untuk hujan dalam tahun ini juga akan turun hujan. Maka kesimpulan yang ditarik secara induktif dapat saja salah, meskipun premis yang dipakainya adalah benar dan penalaran induktifnya adalah sah, namun dapat saja kesimpulannya salah. Sebab logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang.

Untuk berpikir induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal khusus untuk sampai pada suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut Herbert L.Searles (dalam http://www.geocities.com/klinikmp/dasar-penelitian/filsafat-metode.htm), diperlukan proses penalaran sebagai berikut:

1. Langkah pertama, mengumpulan fakta-fakta khusus. Metode khusus yang digunakan observasi (pengamatan) dan eksperimen. Observasi harus dikerjakan seteliti mungkin, eksperimen terjadi untuk membuat atau mengganti obyek yang harus dipelajari.

2. Langkah kedua, dalam induksi ialah perumusan hipotesis. Hipotesis merupakan dalil sementara yang diajukan berdasarkan pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi peneliti lebih lanjut. Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat sebagai berikut: harus dapat diuji kebenarannya, harus terbuka dan dapat meramalkan bagi pengembangan konsekuensinya, harus runtut dengan dalil-dalil yang dianggap benar, hipotesis harus dapat meenjelaskan fakta-fakta yang dipersoalkan.

3. Langkah ketiga, dalam hal ini penalaran induktif ialah mengadakan verifikasi. Hipotesis adalah sekedar perumusan dalil sementara yang harus dibuktikan atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta lain untuk diambil kesimpulan umum. Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yakni makin banyak bahan bukti yang diambil makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut. Demikian sebaliknya, makin sedikit bahan bukti yang mendukungnya semakin rendah tingkat kesulitannya. Memverifikasi adalah membuktikan bahwa hipotesis ini adalah dalil yang sebenarnya. Ini juga mencakup generalisasi, untuk menemukan hukum atau dalil umum, sehingga hipotesis tersebut menjadi suatu teori.

4. Langkah keempat, teori dan hukum ilmiah, hasil terakhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah untuk sampai pada hukum ilmiah. Persoalan yang dihadapi oleh induksi ialah untuk sampai pada suatu dasar yang logis bagi generalisasi dengan tidak mungkin semua hal diamati, atau dengan kata lain untuk menentukan pembenaran yang logis bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi semua hal. Maka, untuk diterapkan bagia semua hal harus merupakan suatu hukum ilmiah yang derajatnya dengan hipotesis adalah lebih tinggi.

Untuk itu, statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif. Bagaimana seseorang dapat melakukan generalisasi tanpa menguasai statistik? Memang betul tidak semua masalah membutuhkan analisis statistik, namun hal ini bukan berarti, bahwa kita tidak perduli terhadap statistika sama sekali dan berpaling kepada cara-cara yang justru tidak bersifat ilmiah.

Statistika bukan merupakan sekumpulan pengetahuan mengenai objek tertentu melainkan merupakan sekumpulan metode dalam memperoleh pengetahuan. Metode keilmuan, sejauh apa yang menyangkut metode, sebenarnya tak lebih dari apa yang dilakukan seseorang dalam mempergunakan pikiran-pikiran tanpa ada sesuatu pun yang membatasinya.

Penguasaan statistika mutlak diperlukan untuk dapat berpikir ilmiah dengan sah sering kali dilupakan orang. Berpikir logis secara deduktif sering sekali dikacaukan dengan berpikir logis secara induktif. Kekacauan logika inilah yang menyebabkan kurang berkembangnya ilmu dinegara kita. Kita cenderung untuk berpikir logis cara deduktif dan menerapkan prosedur yang sama untuk kesimpulan induktif.

Untuk mempercepat perkembangan kegiatan keilmuan dinegara kita maka penguasaan berpikir induktif dengan statistika sebagai alat berpikirnya harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Dalam perjalanan sejarah, statistika memang sering mendapat tempat yang kurang layak. Statistika sebagai disiplin keilmuwan sering dikacaukan dengan statistika yang berupa data yang dikumpulkan.

Statistika merupakan sarana berpikir yang diperluaskan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah, maka statistika membantu kita untuk mengeneralisasikan dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan terjadi secara kebetulan. Statistika harus mendapat tempat yang sejajar dengan matematika agar keseimbangan berpikir deduktif dan induktif yang merupakan cara dan berpikir ilmiah dapat dilakukan dengan baik.


SIMPULAN

Perkembangan ilmu abad 20 menjadikan manusia sebagai mahluk istimewa dilihat dari kemajuan berimajinasi. Ilmu merupakan pengetahuan yang di dapatkan lewat metode ilmiah. Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik perlu sarana berpikir ilmiah yang terdiri dari bahasa, logika, matematika dan statistika, Dimana sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan untuk bisa memecahkan masalah sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Poespoprodjo, W dan Gilarso. 2006. Logika Ilmu Menalar. Pustaka Grafika. Bandung

Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Puataka Sinar Harapan. Jakarta

-----------------------------. 2006. Ilmu Dalam Perspektif. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Materi Sarana Berpikir Ilmiah. [Tersedia] http://permatayien.blogspot.com/2007/05/homework.html [online]. 15 Desember 2008

Sarana Berpikir Ilmiah. [Tersedia] http://js.unikom.ac.id/rb/bab1.html [online]. 15 Desember 2008

Sanaky, Hujair AH. 2006. Logika dan Statistika Sebagai Sarana Berpikir Ilmiah. [Tersedia] http://www.sanaky.com[online]. 15 Desember 2008

Matematika Sebagai Sarana Berpikir Ilmiah. [Tersedia] http://www.enjang-ruhiat.web.ugm.ac.id/?p=7 [online]. 15 Desember 2008

Sarana Berpikir Ilmiah. [Tersedia] http://www.geocities.com/klinikmp/dasar-penelitian/filsafat-metode.htm [online]. 15 Desember 2008

1 komentar:

  1. Titanium Carabiners - Tithon Group - Titanium Art
    Buy The Titanium Carabiners - titanium wood stoves Tithon Group online titanium white fennec at cerakote titanium www.titanium-arts.com. We're excited to titanium straightener show you a selection of titanium 200 welder high quality, premium, quality, and affordable

    BalasHapus