Selasa, 22 Desember 2009

Laporan Buku Konflik Kalbar dan Kalteng


BAB I

PENDAHULUAN

Sejumlah konflik komunal berdarah telah mengguncang beberapa daerah di Indonesia pada sekitar akhir tahun 1990 sampai awal 2000an. Banyak pendapat yang menyatakan mengapa hal tersebut terjadi salah satunya mengaitkan akumulasi dampak negatif pembangunan orde baru, seperti ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, maupun faktor kultural dan rusaknya jaringan sosial budaya lokal-tradisional sebagai sumber pendukung pecahnya konflik komunal seperti yang terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan beberapa daerah lain di Indonesia.

Konflik yang terjadi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur bisa dikatakan sebagai kerusuhan antara etnik yang melibatkan ribuan massa pelaku kerusuhan, mengakibatkan korban puluhan ribu orang harus mengungsi, ratusan orang meninggal serta ratusan rumah luluh lantak. Kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai suku asli Kalimantan-Etnik Dayak dan Melayu- berhadapan dengan masyarakat pendatang dari Pulau Madura (etnik Madura). Pada awalnya kerusuhan pecah di Kalimantan Barat yaitu pada bulan Februari 1999 yang kemudian terulang kembali pada 25 Oktober 2000, massa mengepung tempat pengungsian etnik Madura di GOR Pontianak. Pada Februari 2001 kerusuhan pecah di wilayah Kalimantan Tengah, yang semula hanya terjadi di Kota Sampit meluas ke Kuala Kapuas, Pangkalan Bun dan Palangkaraya dengan korban yang lebih besar.

Meluasnya konflik di daerah disebabkan oleh gagalnya upaya-upaya penghentian kekerasan atau dalam beberapa kasus tampak adanya “pembiaran” oleh elemen Negara. Asumsi tersebut terkait dengan lemahnya proses resolusi konflik yang diambil, yang cenderung hanya diisi oleh kegiatan-kegiatan perdamaian yang lebih bersifat formalitas, seremonial dan cenderung top-down. Program resolusi dan rehabilitasi konflik sebenarnya merupakan tanggung jawab lembaga pemerintahan sebagai pemegang otoritas publik tetapi diperlukan kerja sama dengan masyarakat itu sendiri.

BAB II

HUBUNGAN SOSIAL DALAM KONFLIK

Daerah Kalbar memiliki penyebaran penduduk yang tidak merata, hal tersebutlah yang menimbulkan berbagai permasalahan seperti kepincangan pembangunan daerah dan masalah sosial, ekonomi, budaya , keamanan dan yang lainnya. Sedangkan wilayah Kalteng memiliki komposisi penduduk yang heterogen baik dari sisi etnik maupun agama. Hal tersebutlah yang mempermudah etnik Dayak di Kalteng untuk berinteraksi dan bersikap “terbuka” dengan etnik-etnik lainnya dibandingkan Dayak di Kalbar.

a. Etnik Melayu

Suku Melayu yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan suku bangsa lainnya di Kalimantan (terutama pada saat kerajaan-kerajaan besar masih berpengaruh) dan identik beragama Islam. Orang Melayu menempati wilayah dataran rendah, khususnya di Kalbar mereka menempati wilayah disepanjang tepi sungai-sungai besar.

b. Etnik Dayak

Sebutan “Dayak” sering kali ditujukan bagi orang-orang asli (pedalaman) Kalimantan yang tidak beragama Islam atau non-Melayu. Sebagian orang-orang Dayak berdiam di wilayah sub-urban atau dihulu sungai dengan pola kehidupan yang sederhana. Mata pencaharian suku bangsa ini pada umumnya bercocok tanam dengan ladang berpindah. Suku Dayak di Kalimantan terdiri dari tujuh suku besar yaitu Dayak ngaju, apu kayan, Dayak iban, Dayak klemantan, Dayak murut, Dayak punan dan Dayak ot danum. Masing-masing kelompok tersebut memiliki ciri khas yang berbeda satu dengan lainnya.

c. Etnik Cina

Etnik Cina mulai datang pertama kali ke Kalimantan pada abad ke-18 yang didatangkan oleh Sultan Landak dan Sultan Sambas sebagai penambang emas di daerah Mandor dan Monterado. Orang Tionghoa yang berimigrasi ke Kalimantan Barat terdiri dari empat suku bangsa yaitu Hokkien, Teo Chiu, Khek dan Kanton. Tingkat penghidupan masyarakat tionghoa di Kalbar lebih baik dari masyarakat pribumi dan pendatang lainnya.

d. Etnik Madura

Ertnik Madura mulai bermigrasi ke daerah Kalimantan pada abad ke 13 sampai abad ke 20, mereka merambah ke dalam pertanian dan sektor informal karena keterbatasan pendidikan. Mereka biasa hidup berkelompok dan memiliki konsep tempat tinggal yang disebut tanean lajang. Karena sikap ekslusif yang mereka pegang dalam bertetangga menyebabkan etnik Madura gagal beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Pada saat bermigrasi mereka tidak melepaskan ciri budaya mereka seperti membawa clurit, sangat mementingkan harga diri dan martabat yang lebih dikenal dengan carok selain itu mereka juga terkenal keras kepala, mau menang sendiri, sombong, menyelesaikan setiap permasalahan dengan kekerasan, sangat bangga pada tradisi dan budaya sendiri dan cenderung memaksakan kehendak.

e. Relasi Dayak-Madura

Interaksi antara Dayak dengan Madura mulai berkembang pada rentang tahun 1959 hingga 1967 dengan datangnya etnik Madura ke Sambas dan Pontianak. Orang Madura cenderung bermigrasi kedaerah baru yang masyarakatnya memiliki tingkat toleransi tinggi dan dominasi kultural etnik yang tidak terlalu kuat. Citra baik etnik Madura pun runtuh dengan adanya perselisihan antara tiga orang Madura dengan orang Dayak, yang memunculkan citra baru dimata orang Dayak bahwa etnik Madura suka memaksakan kehendak dan melakukan kekerasan. Setelah kejadian tersebut timbullah perasaan terancam oleh suku Dayak dan ungkapan yang bertujuan mengolok-olok orang Madura.

f. Relasi Melayu-Madura

Melayu merupakan etnik asli di Sambas selain Dayak, sedangkan etnik pendatang meliputi Cina, Arab, Madura, Bugis dan Jawa. Meskipun keberadaan setiap etnik pendatang sudah berlangsung lama, tampaknya proses pembauran belum berlangsung secara memadai. Sejumlah etnik, khususnya etnik Madura masih tinggal dan hidup dalam lingkungan kelompok mereka. Orang-orang Madura di Sambas berbeda dengan para pendatang lain, mereka melihat daerah tersebut sebagai Milik Tohan atau Hinterland dari Madura. Oleh karena itu, mereka tidak perlu berbasa-basi dengan etnik lain yang berada di Sambas dan mereka hidup dengan berpedoman pada kebudayaan mereka. Pemicu kerusuhan Sambas merupakan ulah “premanisme” seorang pemuda asal Madura, bernama Hasan yang tertangkap tangan saat melakukan pencurian di Desa Parit Setia, pada 17 Januari 1999. Setelah kejadian tersebut kerusuhan meluas hingga ke Sembilan kecamatan di Kecamatan Sambas.

Memasuki tahun 2000-an dua provinsi yang bersebelahan di Kalimantan yaitu Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, dilanda kerusuhan antar etnik. Dari kedua konflik tersebut mengakibatkan banyak korban tewas dan kerugian harta benda. Sejauh ini pertikaian di Kalteng dapat dikatakan merupakan imbas dari pertikaian serupa di Kalbar. Struktur konflik antara penduduk asli dengan penduduk pendatang (Madura) di daerah Kalbar dan Kalteng yaitu :

1. Marginalisasi dan perebutan Sumber Daya Ekonomi-Politik

2. Adanya pihak yang tersakiti dalam sejarah hubungan sosial

3. Pola segregasi sosial dan pembentukan stereotip

BAB III

PROBLEMATIKA RESOLUSI KONFLIK SAMBAS

1. Peranan Negara

Peranan Negara dalam resolusi konflik di Sambas dapat dikatakan relatif amat kurang, kecuali aktivitas Negara pada tahap awal konflik berupa de-eskalasi konflik yang secara umum juga dapat dikatakan tidak berhasil.

Peranan Negara Dalam Resolusi Konflik Di Kalbar

Tahapan Resolusi Konflik

Program atau Tindakan

Perkembangan di Lapangan

De-eskalasi Konflik

A. Jangka Pendek

· Aparat keamanan dalam jumlah yang sangat terbatas mencoba meredam konflik yang berada di desa sumber konflik

· Aparat yang diterjunkan tidak netral

· Polsek dan Koramil tidak lagi mampu mengendalikan situasi, dan tidak mampu segera mencegah berlanjutnya kekerasan

· Aparat gagal melokalisir kerusuhan dan pemblokiran, sehingga kerusuhan meluas

· Aparat gagal mencegah jatuhnya banyak korban jiwa dan harta benda

B. Jangka Panjang

· Negara kurang mendorong surutnya perasaan saling membenci di antara pihak-pihak yang berkonflik

· Dalam konteks Sambas: Pemda setempat turut mendukung dan menyebarkan hidden agenda untuk menolak Madura kembali ke bumi Melayu (Sambas)

· Negara gagal memainkan memainkan peranan de-eskalasi karena Negara belum menemukan cara-cara pemecahan masalah yang dapat dikatakan adil bagi pihak Madura

· Di kalangan masyarakat maupun kalangan elite, perasaan “membenci” etnik Madura masih tumbuh subur

· Pendekatan resolusi konflik yang digunakan ialah “pendekatan alamiah yang cenderung pembiaran”, yang secara sepihak hanya menguntungkan etnik Melayu Sambas tapi sangat merugikan warga Madura

Intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik

· Pemprov melakukan relokasi pengungsian dan program pemberdayaan

· Surat edaran Bupati Sambas tentang intervensi tanah-tanah Madura

· Program pemerintah untuk resolusi konflik hampir dikatakan tidak ada

· Tidak ada koordinasi antara Pemprov dan Pemkab Sambas

· Pemkab Sambas merasa ditinggalkan atau tidak dilibatkan

· Pemda tidak serius sehingga banyak tanah milik orang Madura yang dikuasai oleh orang Melayu, oleh pemerintah desa, atau disita sebagai “rampasan perang”

2. Peranan Masyarakat

Pendekatan-pendekatan informal secara umum menginginkan bagaimana orang Madura dapat membangun citra positif terlebih dahulu kepada Sambas sehingga bisa meyakinkan etnik Sambas bahwa kepulangan Madura ke Sambas tidak akan menimbulkan konflik kembali. Hal ini dilakukan dengan dibuatnya program-program yang ditujukan kepada etnik Madura untuk dapat memperbaiki sikap mereka.

Perkembangan Pendekatan Informal Dan Alamiah

Nama Kegiatan

Peranan

Output

Orang Melayu Sambas bebas lalu-lalang dengan aman di terminal Batu Layang

Orang Melayu Sambas akan bercerita di kampong halamannya, bahwa mereka diperlakukan dengan baik dan aman di terminal Batulayang

Diplomasi budaya

Orang Sambas mengunjungi sanak keluarganya di relokasi pengungsian

Orang Madura membuktikan bahwa tempat relokasi merupakan tempat yang aman bagi orang Melayu Sambas

Diplomasi budaya

Acara pernikahan antara wanita Madura dengan lelaki Melayu di Sambas, keluarga Madura boleh hadir dan tinggal di Sambas selama prosesi pernikahan berlangsung

Orang Sambas memberikan atau membuka sedikit pintunya bagi masuknya orang Madura ke Sambas

Diplomasi budaya

Acara pertandingan olahraga atau kesenian, dimana peserta dari Madura bisa hadir dengan aman

Orang Sambas memberikan atau membuka sedikit pintunya bagi masuknya orang Madura ke Sambas

Diplomasi budaya

Forum atau kegiatan yang diinisiasi oleh beberapa pemuda Madura yang berisi kritik internal terhadap kebudayaan mereka

Bertujuan menurunkan perilaku dan budaya kekerasan orang Madura

· Berkurangnya simbol-simbol kekerasan orang Madura

· Melayu melihat sedikit bukti bahwa perilaku orang Madura sudah berubah

Peranan Mediator Untuk Resolusi Konflik

Jenis Lembaga

Peran

Output

LSM

· Mengadakan kegiatan dialog-dialog

· Bantuan pangan

· Bantuan fisik

· Bantuan pengadaan air bersih

· Sebatas dialog-dialog, belum ada follow up untuk mendorong resolusi konflik

· Satu dua LSM justru dibentuk untuk mobilisasi politik

Partai Politik

Secara sadar enggan terlibat karena mengurus resolusi konflik merupakan isu yang kontraproduktif bagi partai

nihil

Ikatan-ikatan Etnik Ekslusif

Masing-masing bersifat ekslusif dan hamper-hampir tidak ada kerja sama

Sukar untuk mempertemukan antar-identitas

Organisasi Lintas Etnik Forum Komunikasi Masyarakat Kalimantan Barat (FKMKB)

Praktis tidak memiliki program

· Nyaris tidak efektif

· Anggota tidak terlibat secara sepenuh hati

Institusi keagamaan

kecil

· Sulit mencari figur tokoh agama yang dihormati oleh kedua belah pihak

· Figur ulama tidak turun langsung ketika konflik berlangsung, untuk mengamankan situasi

3. Kelompok-kelompok Penolak di Sambas

Terdapat tiga kelompok yang berkepentingan agar Madura tidak kembali ke Sambas yaitu :

a. Anak-anak muda, terkait (atau dengan memanfaatkan) faktor trauma

b. Para politisi, ini terutama menjelaskan mengapa wacana penolakan dalam satu dua tahun terakhir justru lebih mengeras di Sambas (Ibu kota Kabupaten Sambas)

c. Mereka yang berkepentingan dengan tanah-tanah yang ditinggalkan oleh orang Madura

4. Perbedaan Persepsi dan Kepentingan Pihak-pihak Berkonflik

Belum adanya titik temu antara Madura dengan Melayu pada poin-poin kritis dipengaruhi oleh kurangnya sikap saling memahami di antara kedua belah pihak seperti:

a. Madura tidak memahami betapa mendalamnya trauma psikologis orang Melayu Sambas yang selama bertahun-tahun hidup dibawah “tekanan” orang Madura

b. Orang Sambas tidak memahami bahwa orang Madura mempunyai dua tujuan utama untuk masuk Sambas dengan tenang dan damai yaitu :

1. Mengurus tanah (hak milik) yang ditinggalkan antara lain ingin menjualnya dengan harga yang wajar

2. Berziarah kubur. Orang Sambas tidak memahami betapa dekatnya orang Madura dengan kuburan.

BAB IV

MENITI HARAPAN DAMAI DI KALTENG

1. Peranan Negara

Beberapa agen pemerintah yang tampak dominan dalam upaya penyelesaian konflik di Kalimantan Tengah antara lain :

a. Pemerintah pusat yang berfungsi sebagai fasilitator/mediator antar pihak yang bertikai dan pemberi bantuan kemanusiaan bagi korban kerusuhan

b. Pemerintah provinsi terutama pemda provinsi Kalimantan Tengah dan Pemda Provinsi Jawa Timur, bertindak aktif sebagai fasilitator rekonsiliasi

c. Pemerintah kabupaten/kota yang sangat aktif mengupayakan perdamaian

d. DPR/DPRD, berperan dalam proses resolusi di Kalteng

e. Aparat keamanan yaitu TNI dan Polri

Peranan Negara dalam tahap de-eskalasi konflik dinilai sangat kecil di mata masyarakat Kalimantan Tengah, terutama oleh pihak yang bertikai. Kelambanan aparat keamanan dalam meredakan konflik kekerasan bisa dicermati dari keterlambatan Negara mengirim bantuan pasukan tambahan dari Jakarta dan Banjarmasin. Selain itu, beberapa orang pengungsi dan mantan pengungsi mengaku harus mengeluarkan biaya untuk kemudahan evakuasi ke Pulau Madura dan sekitarnya.

Tahap intervensi kemanusiaan di Kalteng terdiri dari beberapa fase yaitu :

a. Fase pertama merupakan program jangka pendek sebagai tahap tanggap darurat dengan memberikan bantuan pangan, layanan kesehatan dan pendidikan

b. Fase kedua yaitu program jangka menengah dengan mengupayakan pengembalian para pengungsi ke daerah asalnya

c. Fase berikutnya merupakan program lanjutan dengan memberikan pembinaan lebih lanjut guna memelihara hubungan baik antara para pengungsi dengan penduduk setempat

Pada tahap rekonsiliasi, Negara memfasilitasi rekonsiliasi antar kedua belah pihak yang berkonflik dengan cukup konsisten dan terjadi dalam beberapa tahap. Dalam tahap problem solving, Negara mengalami beberapa persoalan yaitu pertama, kebijakan penanganan penduduk pasca-konflik yang diatur melalui perda tidak disikapi secara serius oleh pemda setempat. Kedua, Pokja lintas tokoh dan sektor memang sudah terbentuk tetapi tidak berfungsi. Ketiga, masyarakat garis keras belum tertangani dengan baik. Keempat, program pemberdayaan tidak optimal dan hanya parsial.

2. Peranan masyarakat

Banyak tokoh masyarakat dari kedua kubu yang berinisiatif dan berupaya mencegah meluasnya kerusuhan salah satunya dengan membentuk Forum Komunikasi Lintas Etnik Kalimantan Tengah (FKLEKT) di Palangkaraya. Beberapa perundingan dilaksanakan dan menghasilkan pernyataan-pernyataan untuk menuju perdamaian antara kedua belah pihak yang bertikai. Jawa Timur dan sekitarnya merupakan tempat tujuan para pengungsi korban kerusuhan Kalteng terutama mereka yang merupakan masyarakat golongan bawah. Yang pada akhirnya terbentuk LSM yang memfokuskan pada pengembalian pengungsian yang disebut dengan Forom Keluarga Korban Kerusuhan Kalimantan Tengah (FK4). Keberhasilan resolusi konflik di Kalteng tidak lepas dari jaringan yang dimiliki FK4. Tahap ini berakhir dengan permohonan maaf etnik Madura kepada pihak Dayak. Tahapan problem solving merupakan fase yang paling berat dan memakan waktu yang lama. Pasalnya semua dialog yang diupayakan oleh Negara dan masyarakat tampak kandas di tengah jalan.

BAB V

PERANAN MASYARAKAT DAN NEGARA DALAM RESOLUSI KONFLIK

Bab ini berisikan perbandingan peran masyarakat dan Negara dalam resolusi konflik di Kalbar dan Kalteng.

Analisis Perbandingan Perkembangan Resolusi Konflik Kalbar-Kalteng


Sambas, Kalbar

Sampit, Kalteng

1. Data konflik

· Korban tewas 200 orang, jumlah pengungsi 30.000 orang

· Lokasi pengungsian di Kalbar

· Korban tewas 400 orang, jumlah pengungsi 100.000 orang

· Lokasi pengungsian di Jawa Timur

2. Kondisi umum pasca-konflik

· Orang Madura ditolak masuk Sambas

· Orang Madura sudah kembali secara bertahap

3. Peranan Negara

Tahap De-eskalasi

· Aparat keamanan lambat dalam mencegah penyebaran konflik

Tahap intervensi kemanusiaan

· Penampungan pengungsi menjadi proyek provinsi Kalbar. Kabupaten Sambas tidak dilibatkan

Tahap negosiasi politik

· Tidak banyak perannya kalaupun ada difasilitasi oleh Pemprov dan Polda

Tahap De-eskalasi

· Aparat keamanan lambat dalam mencegah penyebaran konflik

Tahap intervensi kemanusiaan

· Penampungan pengungsi sebagian besar di Jatim

· Pemerintah Pusat menyediakan transportasi kapal (kapal Pelni dan kapal TNI-AL) untuk mengangkut pengungsi

Tahap negosiasi politik

· Ada dukungan secara nasional lewat pertemuan di Jakarta, Yogyakarta, Malang dan Bangkalan

· Kepentingan penguasa yang memiliki konstituen kuat di Jatim

· Pengungsi kota Sampit banyak lari ke Madura, sehingga Pemda Jatim merasa keberatan

4. Peran masyarakat

· Kelompok Penolak Resolusi Konflik amat kuat, dengan jaringan yang kuat di kalangan elite formal (birokrasi, DPRD) di tingkat provinsi hingga kabupaten maupun di tingkat informal (kesultanan Sambas), serta dukungan luas masyarakat Sambas

· Kelompok pendorong resolusi konflik memiliki jaringan yang lemah dan hanya kuat dikalangan pengungsi Madura saja

· Peran NGO :parsial dan rebutan kavling

· Pengembalian pengungsi lebih banyak dikota-kota

· Hampir tidak ada kelompok penolak resolusi konflik. Gari keras hanya ada di segelintir elite Dayak Kristen atau sisa-sisa pelaku konflik. Garis keras tidak ada di grassroot kecuali bila ada saudaranya yang terbunuh atau yang punya catatan hitam dalam resalasi dengan Madura sebelumnya.

· Kelompok Pendorong Resolusi Konflik: FK4 memainkan peranan menonjol. Disamping peran institusi keagamaan (FPMPU) yang didukung baik oleh Madura maupun Dayak Islam

· Peran NGO: ada kerja sama pengembalian pengungsi lebih banyak didesa-desa

5. Dinamika hubungan masyarakat-Negara

· Pasca-konflik: lingkup kabupaten

· Kekuatan politik menjadi lebih homogeny: membangun “tembok Sambas” dan keraton tulang punggung penolak orang Madura kembali

· Pemekaran wilayah mengoakomodasi kepentingan elit dan masyarakat, serta pembagian wilayah kekuasaan antar-etnik

· Pilkada: kandidat dengan sengaja menghindari isu pengembalian Madura ke Sambas

· Pasca-konflik: lingkup provinsi

· Kekuatan politik tetap heterogen dan peran damang dalam menseleksi kembalinya orang Madura

· Pemekaran wilayah: membuat banyak elit yang tertampung dalam struktur pemerintahan. Isu pemekaran menyebabkan masyarakat Dayak tidak terfokus menolak warga Madura

· Pilkada bisa berdampak negatif bila isu etnis di tampilkan misalnya menyebarkan isu bahwa calon tertentu memiliki darah Madura

KOMENTAR

Buku ini yang berjudul “Konflik Kalbar dan Kalteng (Jalan Panjang Meretas Perdamaian)” menceritakan pola-pola hubungan atau interaksi antara Negara dan masyarakat di daerah-daerah konflik (Kalbar dan Kalteng), termasuk bagaimana pola hubungan serta peran masing-masing dalam proses pembuatan kebijakan mengenai resolusi konflik. Berawal dengan menceritakan hubungan sosial antar etnik di Kalbar dan Kalteng baik penduduk asli yaitu Dayak dan Melayu maupun penduduk pendatang seperti etnik Cina dan Madura, buku ini juga memaparkan penyebab-penyebab terjadinya konflik di daerah tersebut yang bermula dari masalah yang sepele. Menurut pemuka masyarakat Dayak di Kalbar (dalam http://zkarnain.tripod.com/SMPIT-01.html) ada empat hal dasar yang selama ini kurang dipahami masyarakat Madura yang berdomisili di Kalimantan.

Pertama, bagi masyarakat adat Kalimantan, khususnya etnis Dayak, senjata tajam sangat dilarang keras dibawa ke tempat umum. Menemui ataupun bertamu ke rumah orang lain dengan membawa senjata tajam ditafsirkan sebagai ancaman atau ajakan bertempur. Senjata tajam juga tidak diperkenankan mencederai atau melukai orang lain, khususnya anggota masyarakat adat Dayak. Apabila hal itu terjadi, pelakunya wajib membayar denda adat yang disebut pemampul darah. Jika korban yang dilukai itu tewas, maka pelaku dikenai hukum adat pati nyawa. Namun demikian, kalau tindakan mencederai orang lain itu dilakukan berkali-kali oleh kelompok yang sama terhadap kelompok masyarakat yang sama pula, persoalannya bisa menjadi lain. Kasus yang tadinya hanya sebatas individu, berubah menjadi masalah kelompok sosial, karena dianggap sebagai pelecehan terhadap adat. Semangat solidaritas dalam menghadapi segala gangguan tercermin dalam simbol adat yang disebut "mangkok merah" (Dayak Kenayan) atau bungai jarau (Dayak Iban). Apabila simbol ini sudah bergerak, maka keadaan bisa menjadi lain. Pertikaian kolektif pun tidak terelakkan lagi.

Kedua, dalam tradisi penduduk asli Kalimantan, mencuri barang orang lain dalam jumlah besar adalah tabu. Alasannya, menurut adat dan kepercayaan masyarakat setempat, barang dan pemiliknya telah menyatu; ibarat jiwa dan badan. Dengan demikian, apabila barangnya diambil tanpa izin, diyakini bakal mengganggu seluruh jiwa keluarga pemilik. Sebagai konsekuensi, pemilik barang akan sakit, bahkan tidak tertutup kemungkinan meninggal.

Ketiga, pinjam-pakai tanah antar penduduk baik di dalam maupun di luar komunitas masyarakat adat tanpa pamrih merupakan hal yang lumrah. Dalam peminjaman itu biasanya hanya didasarkan pada saling percaya tanpa disertai surat perjanjian. Namun, pola ini cenderung dilanggar oleh warga pendatang, khususnya etnis Madura. Ketika pemilik hendak mengambil lagi tanahnya, sering mendapat reaksi yang kurang simpatik dari peminjam. Bahkan, peminjam pun mengklaim tanah itu adalah miliknya, sebab dia yang menggarap. Mengingkari perjanjian lisan, dalam hukum adat Dayak disebut balang semaya (ingkar janji) atau penipuan. Hukumannya setimpal dengan perampasan hak orang lain dengan kekerasan.

Keempat, dalam tradisi masyarakat Dayak, ikrar perdamaian harus bersifat abadi sehingga hanya dilakukan sekali oleh kelompok yang bertikai. Pelanggaran terhadap perjanjian damai dinilai sebagai wujud pengkhianatan sehingga ikrar yang diucapkan sebelumnya sebatas demi adat. Pelanggaran tersebut dikategorikan sebagai pelecehan adat sekaligus pernyataan permusuhan oleh semua anggota komunitas dari pelanggar perjanjian. Upacara adat perdamaian yang digelar bukan hanya bernilai adat, tetapi juga moral sekaligus mengandung unsur magis-religius. Hal itu disebabkan perjanjian disaksikan penguasa alam semesta atau dalam bahasa setempat disebut Betara atau Jubata. Karenanya, perdamaian yang digelar setelah pelanggaran itu takkan pernah efektif lagi hingga kapan pun.

Hal-hal tersebut dapat dikatakan sebagai benturan budaya atau perilaku sosial yang dapat memicu konflik disamping adanya masalah kesenjangan pendidikan, marginalisasi suku tertentu dalam menduduki posisi di pemerintahan dan kesenjangan ekonomi antara suku pendatang dan suku asli (dalam http://dephan.gi.id.html).

Didalam buku ini dapat kita lihat upaya-upaya Negara dan masyarakat dalam menyelesaikan konflik baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dari meluasnya kerusuhan-kerusuhan yang terjadi, banyaknya korban tewas dan kerusakan-kerusakan dapat disimpulkan Negara tidak mampu mencegah meluasnya konflik. Pada tahap de-eskalasi, Negara gagal dalam memainkan peranan jangka pendek yakni terhadap upaya mencegah eskalasi yang bersifat masif dan destruktif, disamping tidak mampu secara cepat menghentikan berlanjutnya kekerasan. Dalam tahap de-eskalasi konflik di Kalteng, kebijakan Negara dalam menggelar pasukan pengendali tampak kurang terintegrasi dimana tingkatan komando aparat keamanan tidak diperhatikan dengan baik.

Secara jangka panjang Negara juga belum sepenuhnya melaksanakan tugas de-eskalasi konflik. Di kalangan warga masyarakat Sambas, perasaan ”membenci” etnik Madura masih tumbuh subur walaupun di kabupaten Sampit secara bertahap warga Madura telah kembali kesana. Bila dikaitkan dengan dengan teori Kriesberg mengenai empat tahap resolusi konflik (dalam http://www.tempointeraktif.com.html) yaitu (1) de-eskalasi konflik, (2) intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik, (3) problem solving approach dan (4) peace building, maka daerah Kalteng lebih maju daripada Kalbar. Kasus Sampit sudah memasuki tahap ketiga, sedangkan kasus Sambas masih berada pada tahap kedua. Hal ini terjadi tidak lepas dari faktor pendorong dan penolak resolusi konflik itu sendiri.

Buku ini secara umum memberikan masukan kepada seluruh masyarakat Indonesia khususnya kepada pemimpin Negara yang memegang kekuasaan dan memiliki kewenangan untuk mengatasi konflik-konflik komunal yang terjadi di Indonesia secara sigap. Walaupun dalam menjalankan resolusi konflik tersebut dibutuhkan kerjasama dengan pihak-pihak lainnya, seperti yang konflik yang terjadi di Kalbar dan Kalteng. Kehadiran Pasukan Penindak Kerusuhan Massal (PPRM), telah banyak membantu penyelesaian konflik di Kalimantan. Selain itu sebagai masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk seyogyanya selalu saling menghormati adat istiadat masing-masing dan senantiasa menjaga Persatuan kesatuan. TNI dan Polri selalu memprioritaskan untuk menjaga harmoni kehidupan yang telah dinikmati masyarakat Indonesia yang majemuk. Menyikapi peristiwa Sambas dan Sampit , TNI dan Polri telah menjalankan perannya sebagai fasilitator sekaligus menyelaras demi tercapainya titik temu antara kelompok masyarakat yang bertikai.

Foto-Foto Kerusuhan Di Kalbar dan Kalteng

smpit-01

DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, heru dkk. 2008. Konflik Klabar Dan Kalteng Jalan Panjang Meretas Perdamaian. Jakarta. P2P-LIPI

Dari sanggau Ledo hingga Sampit. [tersedia] http://zkarnain.tripod.com/SMPIT-01.html [online] 23 Desember 2008

Peristiwa Sambas.[tersedia] http://dephan.gi.id.html [online] 23 Desember 2008

Empat Tahap Resolusi Konflik. [tersedia] http://www.tempointeraktif.com.html [online] 23 Desember 2008

http://www.geocities.com/rusuh.html [online] 23 Desember 2008